Bekas galian masih terlihat jelas, tanahnya lepas dan belum menyatu dengan bumi. Di atas gundukan itu, bunga-bunga warna-warni ditaburkan, satu-satunya hal yang berwarna di antara kerumunan baju hitam dan dunia yang, pada hari itu, terasa nyaris hitam-putih. Saya berdiri agak jauh, membiarkan bayangan jatuh ke permukaan tanah yang masih basah. Tak ada yang benar-benar diam di sana, kecuali kepergian itu sendiri, yang menetap tanpa terganggu angin, kicau burung, doa-doa yang terucap, atau kedukaan yang disucikan masing-masing orang dalam air mata mereka.
Sepasang sandal jepit milik sahabat saya tergeletak di balik tenda duka, dikenakan oleh salah satu anggota keluarganya saat menuju pemakaman. Saya melihatnya sekilas, dan tiba-tiba teringat betapa ia selalu tergesa-gesa dalam hal-hal kecil—mengikat tali sepatu sambil berjalan, menjawab pertanyaan sebelum pertanyaannya selesai, atau mengenakan sandal yang kanan-kiri berbeda karena salah ambil. Tapi tidak dalam mencintai orang-orang yang ia anggap penting. Untuk hal itu, ia hati-hati dan tekun. Dan hari ini, ia pergi dengan ketergesaan yang tidak seperti dirinya, meninggalkan orang-orang yang menyayanginya.
Di sebelah saya, ada botol air mineral setengah kosong. Milik pelayat yang telah berlalu. Misalkan sahabat saya masih hidup, kami akan membicarakan betapa menyebalkannya detail-detail kecil itu: sandal jepit, botol plastik, dan memori yang datang tanpa diminta. Tapi kini, saya hanya seorang diri, menatap ke arah makam yang mungkin tak terlalu dalam, tapi cukup untuk menelan seluruh masa menyenangkan saya bersamanya. Saya ingin sekali mengucapkan sesuatu, tapi suara berubah menjadi dengung samar di belakang tenggorokan. Apa-apa yang tersisa hanya air mata yang jatuh berderai bersama napas pendek dan doa-doa yang panjang.
Sesudah hari pemakaman itu, saya sering merenungkan tentang kematian. Memikirkan bahwa hidup terasa seperti putaran tak berkesudahan, di mana kelahiran dan kematian berjalan beriringan. Seakan-akan kita hanya sedang memainkan ulang satu pola yang sama, tanpa pernah benar-benar keluar darinya. Kehidupan masing-masing orang tampak seperti lilin: nyalanya menerangi, tapi perlahan-lahan memakan dirinya sendiri. Begitu efemeral.
Perenungan tersebut kemudian membawa saya pada pemahaman bahwa kematian tidak benar-benar menakutkan, setidaknya jika itu terjadi pada diri saya sendiri, saya bisa membayangkannya dengan cukup tenang, kadang-kadang juga dibarengi dengan fantasi yang saya ciptakan dalam kepala. Misalnya, jika saya mati, saya akan menjelma kapibara dan berleha-leha menyaksikan kehidupan manusia yang faali. Itu tidak menakutkan sama sekali.
Yang menakutkan dan menyedihkan dari kematian, saya kira, adalah kematian orang-orang di sekeliling saya. Orang-orang yang saya cintai—sahabat, pasangan, keluarga—pergi lebih dulu dan kemudian meninggalkan saya dalam pergumulan melanjutkan hidup, sendirian, dengan duka yang, suka tidak suka, mesti ditanggung oleh mereka yang masih hidup.
Dalam hal ini, sepertinya saya tidak sendiri. “Kita merasakan gentar terhadap kematian,” tulis Fredrik Backman dalam A Man Called Ove, “tapi sebagian besar dari kita merasa paling takut jika kematian itu membawa pergi orang lain. Sebab yang selalu menjadi ketakutan terbesar adalah jika kematian itu melewatkan kita. Dan meninggalkan kita di sana sendirian.”
Saya merasa akrab dengan kesedihan mendalam Ove—tokoh utama dalam novel tersebut—ketika Sonja, istri yang sangat ia cintai dan pusat orbitnya, meninggal. Sesuatu di dalam diri Ove hancur berkeping-keping saat ia harus menguburkan satu-satunya orang yang selalu memahaminya. Ove kemudian berduka dengan menjalani hari-hari lewat kebiasaan-kebiasaan kaku dan berulang: ia mengunjungi makam Sonja setiap hari, berbicara di depan nisan seolah-olah istrinya masih ada di sana, masih mendengar, masih menemani.
Ketika sahabat saya meninggal, saya tidak seperti Ove. Saya tidak mengunjungi makam setiap hari, dan tidak pula berbicara dengan nisan. Saya justru dilanda kebingungan tentang bagaimana sebaiknya saya berduka, dan kemudian terbenam dalam perasaan bersalah yang menghukum saya sewaktu-waktu karena merasa tidak selalu hadir dalam momen-momen penting sahabat saya. Rasa bersalah yang tumbuh dari keyakinan yang terlalu polos: bahwa waktu masih panjang, bahwa akan selalu ada hari depan yang bisa menggantikan apa-apa yang terlewat. Hingga kemudian, tak ada lagi hari depan.
Dalam kebingungan, rasa bersalah, dan kesedihan yang memelintir perut, saya mulai menggali kemungkinan: seperti apa sebetulnya bentuk duka itu? Apakah ia harus terlihat dalam ritus yang rutin, seperti yang dilakukan Ove—mengunjungi makam, berbicara dengan nisan, menjaga kenangan lewat kebiasaan? Ataukah ada cara lain yang lebih diam, lebih tersembunyi, lebih tak terdefinisikan? Saya tidak tahu. Tapi saya merasa perlu mencari, menyusuri bagaimana orang lain pernah mencoba memberi wajah pada kehilangan. Barangkali dari sana, saya bisa mengenali duka saya sendiri dan belajar bagaimana caranya tetap hidup.
Beberapa hari lalu, saya membaca sebuah esai ilustrasi karya Natalie Waksman di The New Yorker, berjudul “Grocery Shopping with My Dead Dad”. Dalam esai itu, Natalie menggambarkan bentuk duka yang begitu manusiawi, campuran antara rasa kehilangan, harapan, absurditas, dan imajinasi. Ia tidak memaknai kematian ayahnya sebagai akhir yang mutlak, melainkan sebagai sesuatu yang bisa—atau setidaknya ingin—diisi kembali lewat keberadaan imajiner: roh baik hati, hantu transparan, makhluk reinkarnasi, atau awan yang mengembara, meski tak bisa lagi mencicipi makanan atau mengomel soal kehidupan bersama Natalie.
Ada keraguan, ada spekulasi lugu, ada humor, dan kesedihan subtil. Natalie bertanya-tanya bentuk roh seperti apa yang akan dipilih ayahnya. Semua kemungkinan itu terasa absurd, tapi sekaligus menenteramkan, dibanding membayangkan bahwa orang yang dia cintai benar-benar tiada, benar-benar lenyap tanpa sisa, sebagaimana yang dituliskan Natalie di akhir esai: “Mungkin hanya karena itu lebih menyenangkan dibandingkan alternatif lainnya.”
Cara Natalie menghadapi duka mengingatkan saya pada memoar Joan Didion, The Year of Magical Thinking. Sebuah catatan panjang yang ditulis Didion setelah suaminya, John Gregory Dunne, wafat mendadak akibat serangan jantung. Di halaman awal bukunya, Didion menulis kalimat yang menggambarkan kehilangan mendadak itu: “Hidup berubah dengan cepat. Hidup berubah dalam sekejap. Anda duduk untuk makan malam, dan hidup seperti yang Anda tahu kemudian berakhir.”
Dalam minggu-minggu awal setelah kematian suaminya, Didion masih percaya—walau samar, walau tak masuk akal—bahwa suaminya akan kembali. Ia mengakui, saat membereskan lemari pakaian John, ia menahan diri untuk tidak memberikan sepatunya kepada orang lain. “Saya tidak bisa memberikan sepatunya,” tulisnya. “Dia akan membutuhkan sepatu jika dia akan kembali.” Itulah bentuk magical thinking yang ia maksud: keyakinan bahwa kenyataan bisa ditekuk oleh pikiran, harapan, atau tindakan-tindakan kecil yang simbolik. Bahwa kematian bisa ditawar melalui tindakan-tindakan yang tak ada hubungan logis antara keduanya.
Namun, berbeda dengan Natalie yang memberi ruang pada imajinasi dan absurditas dengan kelembutan, Didion kemudian bergerak ke arah yang kaku dan terkontrol. Ia menenggelamkan diri dalam literatur medis, mempelajari istilah-istilah tentang jantung, prosedur klinis, dan mekanisme kematian mendadak. Ia mencari pegangan pada ilmu pengetahuan. Duka, bukan sekadar rasa kehilangan, tapi juga dorongan obsesif untuk memahami.
Jika Natalie memberi ruang pada absurditas lembut, dan Didion pada disiplin intelektual, maka Chimamanda Ngozi Adichie menunjukkan sisi lain dari duka: tubuh yang tidak bisa lagi dipaksa mengerti, dan bahasa yang tidak lagi bisa dipakai untuk menjelaskan. Notes on Grief karya Chimamanda Ngozi Adichie. Sebuah catatan pendek, penuh retakan, dan justru karena itu terasa begitu mentah dan terus terang.
Adichie tidak berusaha menata kedukaannya dalam narasi yang utuh. Ia membiarkan duka muncul dalam fragmen—kalimat-kalimat yang pendek, patah, kadang seperti gumaman. Dalam duka, ia kehilangan kemampuannya untuk menjelaskan; yang tersisa hanyalah tubuh yang menolak memahami. Ia menulis tentang lidah yang terasa pahit, jantung yang seolah bergerak liar di dalam dadanya, dan perasaan bahwa dunia telah berubah bentuk secara mendadak dan tak dapat terpahami.
Ucapan belasungkawa tidak membantu, justru menyakiti; dan bahasa, yang biasanya menjadi kekuatannya sebagai penulis, kini terasa ompong dan tidak berguna. Di titik ini, Adichie memperlihatkan bahwa duka bisa hadir sebagai kegagalan total dalam berbahasa karena kehilangan, dalam bentuknya yang paling mentah, tidak dapat dijelaskan, hanya bisa dirasakan dalam denyut yang asing di dalam tubuh. Tidak ada paragraf yang diselesaikan dengan tuntas, tidak ada klimaks, tidak ada resolusi, hanya potongan-potongan kesedihan yang berulang dan membingungkan, seperti orang yang bangun dari mimpi buruk tapi tidak sepenuhnya terjaga.
Saat membaca tulisan-tulisan tersebut, saya mulai menyadari bahwa duka tidak pernah memiliki satu bentuk yang pasti. Tidak ada yang benar, tidak ada yang salah. Tidak ada cara yang lebih sakral, tidak ada pula cara yang terlalu profan. Setiap orang merawat kehilangan mereka dengan cara yang mampu mereka tanggung. Sebagian melalui percakapan dengan makam, sebagian dengan imajinasi, sebagian lagi dengan mencatat retakan demi retakan di balik pintu yang tertutup.
“Masing-masing dari kita memiliki ritme penderitaannya sendiri,” tulis Roland Barthes dalam Mourning Diary, buku harian yang ditulisnya pada malam-malam sunyi setelah kematian ibu tercintanya. Dan saya percaya, sebagaimana Barthes, bahwa ritme itu tak perlu disamakan atau dipertanyakan. Ia hanya perlu dikenali, lalu dijalani pelan-pelan, dengan cara yang paling manusiawi yang bisa kita temukan.
Dan mungkin, bagi saya sendiri, cara saya berduka adalah dengan menulis semua ini. Sebagaimana yang selalu dikatakan sahabat saya saat saya ragu dan gagu menghadapi sesuatu: baca dan tuliskanlah. Kini saya membaca dan menulis, sambil membayangkan bahwa sahabat saya—entah di mana, dalam kondisi apa—sedang membaca tulisan ini, bersama saya.
💙